Bacaan Surat Fatiĥah yang menjadi salah satu rukun dalam shalat juga ditampilkan bahkan disertai dengan penafsirannya.
Diantara penafsiran itu adalah kata bismillah dimaknai dengan “ingsun amet barekat lawan namaning Pangeran” (aku mencari barokah dengan nama Allah). Alhamdulillah dimaknai “Tuwan oleh puji” (Tuwan mendapatkan puji). Rabbi’l ‘alamina ditafsirkan “Tuwan kang angraksa alam kabeh, kang aweh nugraha ing kawula kabeh kang pangabekti awedi ing Pangeran” (Engkau adalah pemelihara seluruh alam, yang memberi anugerah kepada semua hamba yang berbakti dan takut kepada Pangeran(Allah)). Al-Rahman dimaknai “amurah ring dunya” (bersifat Murah di dunia) dan Al-Rahim ditafsirkan “Tuwan asih ring akerat, kang mukmin lanang lan wadon” (Engkau mengasihi Mukmin laki-laki dan perempuan di akhirat). Maliki yawmi’l-din dimaknai “Tuwan ratuning dina kiyamat, kang angukumaken kabeh” (Engkau adalah penguasa hari kiamat, yang mengadili semua).
Selanjutnya Iyyaka na’budu ditafsirkan dengan makna “Tuwan kang sinembah sekehing alam kabeh” (Engkaulah yang disembah seluruh alam) dan iyyaka nasta’-inu dengan tafsiran “Tuwan amba jaluki tulung” (kepada Engkaulah hamba meminta pertolongan). Ihdinal’ l-sirat’ al-mustaqima dengan makna “teguhna amba jaluki dadalan wot siratal mustakim, lawan tetepna” (teguhkanlah hamba meminta di jalan jembatan siratal mustaqim (jalan yang lurus), dan tetapkanlah aku). Siratal ‘lladhina an-‘amta ‘alaihim dengan “den … dalane wong kang wus den wehi pakenak ika, kaya kang tuwna nugraha ika, kaya para nabi para wali ika, kaya wong aperang sabil ika” (tetapkan dijalan orang yang telah Engkau anugerahi nikmat, seperti halnya jalan jalan orang yang telah Engkau beri karunia seperti para Nabi dan Wali-Mu, seperti jalan orang-orang yang telah berperang sabilillah).
Dalam menafsirkan Surat Al Fatihah, Lontar Ferrara juga mengingatkan agar kaum muslim termasuk di Jawa jangan sampai berperilaku menyerupai kaum Yahudi dan Nashrani (Kristen). Mereka selalu diingatkan agar tidak menjadi orang yang dimurkai (sebagaimana Yahudi) dan tersesat (sebagaimana Nashrani). Ayat yang berbunyi “Ghairil ‘l maghdubi ‘alaihim” ditafsirkan “sampun Tuwan wehi pupurik kaya ing Yahudi Nashrani ika“ (Jangan Engkau beri kemurkaan sebagaimana orang Yahudi dan Nashrani itu). “Wa-la’l-dhallina” ditafsirkan “sampun Tuwan sasaraken ing marga kang ora bener, kaumira baginda Isa ing mami; tegese ikulah amba teda ing Tuwan” (Janganlah Engkau sesatkan aku di jalan yang keliru sebagaimana kaum Nabi Isa, itulah yang hamba minta kepada Engkau).
Penafsiran bahwa bagian akhir Surat Al Fatihah tersebut berbicara tentang kaum Yahudi dan Nashara merupakan penafsiran yang disepakati oleh ulama tafsir. Kesepakatannya adalah “Orang-orang Yahudi adalah mereka yang dimurkai dan orang-orang Nashrani adalah orang-orang yang sesat”. Tafsir Ibnu Katsir menunjukkan Ibnu Hatim berpendapat bahwa ia belum pernah menemukan ada perselisihan di kalangan ulama dalam menafsirkan ayat tersebut. Hal ini didasarkan hadits-hadits dari Rasulullah diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Hammad ibnu Salamah dari Sammak, dari Murri Ibnu Qatri dari Addi Ibnu Hatim sebagai berikut:
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang pekataan-Nya “Bukan jalan orang-orang yang dimurkai”, lalu beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang Yahudi”. Dan tentang perkataan-Nya “Dan bukan pula jalan-jalan orang yang sesat”. Beliau menjawab: “Orang-orang Nashrani adalah orang-orang yang sesat”.
G.W.J. Drewes, ahli javanologi Belanda, menilai bahwa Surat Al Fatiĥah dalam Lontar Ferrara tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa dengan menggunakan paradigma atau visi mistis. Tidak jelas alasan Drewes beranggapan demikian. Nampaknya ia memang kurang memahami bahwa Surat Al Fatiĥah tersebut telah ditafsirkan dengan menggunakan model tafsir yang lebih dekat dengan penafsiran mu’tabar dalam tradisi Islam. Sedikit kekeliruan mungkin terjadi tetapi nampaknya bukan hal yang fatal